ayah & anak |
.... Ini mungkin satu kisah yang mungkin bisa jadi pelajaran buat seseorang bahwa sesuatu yang biasa bukan berarti murahan, kampungan,alay atau pun lainya,,, terkadang kita memandang sesuatu dari sisi material saja apalagi jika melihat seseorang pasti akan melihat tampilanya saja,,, dan langsung muncul punishment eh dia alay...eh di sotoy ehhh dia kampungan dan lainya... hehehe just uneg-uneg penulis saja, selamat menghayati critanya.... :)
MENJELANG hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan
alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke
belakang,
hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar,
keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak
orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka
ternyata sama herannya.
"Kenapa?" tanya mereka di hari Nania
mengantarkan surat
undangan.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin
menikmati
hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di
kampus sepi.
Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya
berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata
yang barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka.
Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara
dan menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak
jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki
itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara
mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu
saat Nania
menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan
keluarga Nania
dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan
hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa
serta buntut mereka.
"Kamu pasti bercanda!"
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di
wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan
terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika
mengira Nania bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan
keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang
ompong. Semua menatap Nania!
"Nania serius!" tegasnya sambil menebak-nebak,
apa lucunya jika Rafli
memang melamarnya.
"Tidak ada yang lucu," suara Papa tegas,
"Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling
cantik!"
Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa
barusan adalah
pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar
sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan
mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya
pesakitan.
"Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan?"
Mama mengambil inisiatif
bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa,
"maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya
tidak harus iya, toh?"
Nania terkesima.
"Kenapa?"
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami.
Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu
juga juara debat
bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu
bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih
gelar insinyur.
Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu
bisa mendapatkan
laki-laki manapun yang kamu mau!
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia
kasihi, Papa,
kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan
panjang uraian
mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania
lontarkan.
"Nania Cuma mau Rafli," sahutnya pendek dengan
airmata mengambang di
kelopak.
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka,
melainkan
sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai
stadium empat. Parah.
"Tapi kenapa?"
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa,
dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat
sangat biasa.
Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka
matanya.
"Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!"
Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran
duniawi menjadi
parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana
iman, di mana
tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan
seseorang dengan
melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan
membela Rafli.
Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana
harus membelanya.
Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa
membuat Rafli
tampak 'luar biasa'. Nania cuma punya idealisme
berdasarkan perasaan
yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur
duapuluh tiga. Dan
nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.
Mereka akhirnya menikah.
***
Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih
sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari
Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan
Rafli agar tampak di mata mereka.
Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli,
begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan
mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan
itu sangat bahagia.
"Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta
Rafli pada Nania."
Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.
Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka
terlihat tak
percaya.
"Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis
secantikmu!"
"Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga
pintar!"
"Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan
punya kehidupan sukses!"
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes.
Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak
boleh meremehkan
Rafli.
Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?
Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.
Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan
kakak-kakaknya, bahwa adik
mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli.
Lagi-lagi percuma.
"Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu
sukses, mapan, kamu bahkan
tidak perlu lelaki untuk menghidupimu."
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua.
Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi
punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak
juga berhenti.
Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak,
satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih
rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji
Nania lebih dari cukup untuk hidup senang.
"Tak apa," kata lelaki itu, ketika Nania
memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri.
"Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan
dengan gaji Abang."
Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu.
Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa
besar selalu
bisa menangkap hanya maksud baik.
"Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga.
Ya?"
Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan
lembut. Saat itu
sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan
membuat pikiran
Nania cerah.
Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari
keluarga biasa,
dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan
pekerjaan dan gaji
yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan
Nania.
Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak
penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di
kantor semakin
gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar,
anak-anak
pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di
dunia. Hidup
perempuan itu berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli
melintas dan
bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik
tetangga kanan
dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan
Mama.
Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!
Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun
masih, tapi
Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia
hidup dengan
perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum
bergeser dari
puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang
ketiga. Selama
kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania,
atau membuat
Nania menangis.
***
Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar.
Sudah lewat dua minggu dari waktunya.
"Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua,
Nania. Harus segera
dikeluarkan!"
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan
sejenis obat ke
dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi
hebat hingga
perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika
semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.
Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di
rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke
kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak
serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam
setelah obat
pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan.
Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit.
Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.
"Baru pembukaan satu."
"Belum ada perubahan, Bu."
"Sudah bertambah sedikit," kata seorang suster
empat jam kemudian
menyemaikan harapan.
"Sekarang pembukaan satu lebih sedikit."
Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster
terakhir yang
memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua.
Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah,
mereka terlonjak
bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah
ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.
"Masih pembukaan dua, Pak!"
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena
rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu
makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
"Bang?"
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri
memperjuangkan dua
kehidupan.
"Dokter?"
"Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali
pusar."
Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi
kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?
Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir
kekhawatiran. Ia senang
karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga
ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba
putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan
ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam
perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir,
telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan
langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa
menciumnya. Bibir
lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania
mendekat.
"Pendarahan hebat."
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap,
berwarna merah.
Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan
entah bagaimana
pecah!
Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama
sekali.
Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan
orangtua
mereka.
Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda.
Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang
mengalir di
pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan,
menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
***
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli
bolak-balik dari
kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian
bagi Nania dan
juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru,
si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya
hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.
Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut
menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat
perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak
keluarga Nania dengan Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah
meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya
pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh,
dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam.
Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga
Nania yang
terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung
lain yang
kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki
dengan
penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda
mesra.
Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa
merasakan
kehadirannya.
"Nania, bangun, Cinta?"
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil
mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai
pesimis dan
berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang.
Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania
sambil
menggenggam tangan istrinya mesra.
Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke
rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian
ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
"Nania, bangun, Cinta?"
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan
permohonan.
Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan
dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua
yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania.
Anak-anak merindukan ibunya.
Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak
wajahnya yang lama
tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat
sering lupa makan.
Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan
itu di mata,
gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan
kecil lain di
wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab.
Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama
ditangkap matanya.
Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam
tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang
dengan airmata yang meleleh.
Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus
kali dalam doa.
Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama
sebelas tahun
terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar
anak-anak ke
sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang
kantor, lelaki itu
cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras,
melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang
sedang jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum
tidur.
Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu,
memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali
Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan
lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak
kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa
dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga
jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja,
makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut.
Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama,
selalu
melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan
orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada
Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di
antara wajahnya yang bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang
ditemuinya di
jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman
Nania tak puas
hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari,
mengoceh, semua
berbisik-bisik.
"Baik banget suaminya!"
"Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan
kedua!"
"Nania beruntung!"
"Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa
adanya."
"Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian
lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka
masam!"
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga
orang, Papa dan
Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat
Nania makin
frustrasi, merasa tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu
kemudian. Orang-orang
di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali
selamanya akan
selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini
berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket
dengan ayah
mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat
kocak permainan.
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania
menghitung-hitung semua,
anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka
tempati,
kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski
tubuhnya tak
berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama
karena usia, meski
karir telah direbut takdir dari tangannya.
Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari
laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.....
yahhh mungkin hanya cerita,,, dan mungkin sebagian orang mengalami ini, jadi tinggal kita memilih yang mana :).... see u gain
Sumber: Cinta Laki-laki
Biasa karya Asma Nadia dari kumpulan cerpen Cinta Laki-laki Biasa, diketik
ulang oleh Juli Prasetio Utomo, 28 Juni 2005, dengan pembenahan beberapa ejaan
dan tanda baca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
test